Langit tetap cerah, sejauh ini tidak ada awan mendung yang menghalangi pemandangan bintang-bintang yang menemani tahapan awal pendakian ini, membuat kami bersemangat saat melakukan pendakian. Berulang kali kami menyempatkan diri menengadah ke atas untuk mengecek kondisi cuaca dan tidak berhenti bersyukur mendapati langit tetap cerah. Pendakian menuju Teras Kecil cukup lancar, walaupun kami mendapati bagian mantel yang terkelupas sepanjang 10-15 cm di dua titik tali kernmantel yang terpasang setelah anchor kedua dan ketiga. Namun bagian inti tali masih tetap bagus, berarti tali masih aman untuk digunakan. Tali-tali ini sebenarnya baru saja dipasang beberapa bulan yang lalu oleh teman-teman pendaki dari Wanadri untuk menggantikan tali pengaman lama..
Tiba di Teras Kecil, kami bergantian melaksanakan shalat Subuh, sebelum kemudian langsung melanjutkan pendakian menuju Teras Dua. Setelah shalat, saya sempat menyelipkan doa, semoga cuaca tetap bagus selama proses pendakian, agar pendakian berjalan lebih lancar dan supaya kami bisa membuat foto-foto yang bagus juga sepanjang perjalanan pendakian..
Tingkat kesulitan mulai meningkat di jalur pendakian antara Teras Kecil dan Teras Dua. Walau begitu Ardhin dan Cecep di depan tetap berusaha mendaki dengan cepat, untuk menjaga kecepatan pendakian agar tetap sesuai dengan target waktu. Ini bukan pertama kalinya bagi kami semua melewati jalur ini, tapi tetap saja di beberapa titik kami perlu berhenti sejenak untuk mempelajari ulang jalur sebelum melanjutkan scrambling. Sambil mengatur nafas kembali, tentunya. Sampai di Teras Dua, saya dan Furji rehat sejenak, sementara 4 pendaki di depan tetap melanjutkan pendakian menuju Teras Besar. Langit mulai terang, saya mengeluarkan kamera dari dalam ransel dan mengatur strap agar kamera bisa saya siapkan dengan cepat jika ingin memotret. Puncak Sukarno-Sumantri dengan gletser abadinya – yang sudah semakin menyusut karena pemanasan global – tampak berkilau terkena sinar matahari yang muncul dari balik puncak Carstensz Timur, membuat saya mengarahkan kamera dan memotret beberapa kali..
Pulau Papua terbentuk sejak jutaan tahun yang lalu dari tumbukan lempeng Indo-Pasifik di Utara dan Indo-Australia di Selatan. Pegunungan yang terbentuk dari hasil tumbukan tersebut terbentang di sepanjang pulau terbesar kedua di dunia ini, dan terbagi menjadi beberapa barisan. Salah satunya adalah Pegunungan Sudirman, di mana tiga titik tertinggi Pulau Papua – dan Indonesia – saat ini berada, yaitu Carstensz Pyramid (4,884m), Sumantri (4,870m) dan Sukarno (Ngga Pulu – 4,862m). Tekstur batuan di pegunungan ini kebanyakan abrasif, walaupun di sebagian tempat sudah tidak terlalu tajam karena pengaruh aliran gletser yang mencair dan cuaca. Batuan yang tajam ini juga menjadi salah satu tantangan dalam menjelajahi pegunungan ini, karena pakaian dan peralatan pendakian yang kita gunakan – sebagus apapun kualitasnya – akan robek dengan mudah jika tersangkut di salah satu batuan yang runcing. Sepatu tahan air pun akan bocor setelah beberapa kali pemakaian di sini. Tetapi tekstur batuan ini pula salah satu alasan yang membuat pegunungan ini menarik untuk dieksplorasi lewat foto-foto.
Setelah rehat sejenak sambil memotret, saya dan Furji melanjutkan pendakian menuju Teras Besar, menyusul keempat pendaki yang sudah lebih dahulu bergerak naik. Lewat jam enam pagi, Ardhin dan Cecep sudah sampai di Teras Besar dan langsung bergerak menuju Summit Ridge, disusul oleh Pak Mulyadi dan Anggit. Sebelum mencapai Summit Ridge, team pendaki harus melewati dinding vertikal setinggi hampir 80m dengan tingkat kesulitan yang tinggi. Mendaki paling depan, Ardhin harus berpindah dari satu tali ke tali lain beberapa kali untuk bisa mengatasi rintangan di dinding ini dan terus scrambling ke atas. Cecep dan Pak Mulyadi menyusul berurutan di belakang dengan hati-hati. Anggit sibuk berteriak mengarahkan pergerakan ketiga pendaki di atasnya dari sisi bawah dinding. Pergerakan team di depan menjadi lebih lambat, membuat saya & Furji bisa menyusul kembali. Waktu menunggu giliran untuk menggunakan tali di dinding vertikal kembali saya manfaatkan untuk memotret dan mengambil nafas.
”Mas Is, kameranya dimasukkan saja dulu, daripada rusak kena batu..!” Memperhatikan pergerakan teman-teman yang sudah memanjat lebih dulu, usulan Furji tidak perlu diulangi lagi dan saya langsung melepas kamera dari strap dan memasukkan kembali ke dalam ransel. Furji memanjat lebih dulu, baru setelah itu saya menyusul, menjadi pendaki paling belakang yang mencapai Summit Ridge. Dalam hati saya bersyukur menuruti saran Furji untuk menyimpan kamera sebelum memanjat, karena jalur ini memang benar-benar sulit dan menguras tenaga. Pada saat saya akhirnya berhasil sampai di tepi Summit Ridge, tiga pendaki terdepan – Ardhin, Cecep dan Pak Mulyadi – sudah berhasil melewati Burma Bridge dan menuju ke Patahan Satu. Saat itu sudah hampir jam sembilan pagi. Lega juga rasanya, karena sebagai pendaki paling belakang saat ini, saya tidak melampaui target waktu yang sudah ditetapkan untuk mencapai Summit Ridge. Kalau saja saya terlambat, maka Pak Mulyadi sebagai ketua ekspedisi bisa langsung memutuskan untuk membatalkan pendakian dan seluruh anggota team harus bergerak turun, karena sesuai keputusan di awal pendakian jika target waktu tidak terpenuhi maka seluruh anggota team harus bergerak turun kembali ke basecamp.
Rasa lelah yang mendera ketika sampai di Summit Ridge hanya terasa sebentar saja. Begitu saya berdiri tegak di punggungan yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter, pemandangan yang terhampar di sekeliling sungguh membuat saya terlupa dengan rasa lelah. Puncak Sukarno – Sumantri dengan es abadinya serta jajaran pegunungan di daerah Sugapa / Ugimba di Utara, tambang Grasberg PT Freeport Indonesia dan Puncak Idenburg di Barat, serta hamparan hutan hijau Papua yang diselimuti kabut tipis di Selatan. Saya bahkan dapat melihat samar-samar garis pantai di horizon. Benar-benar pemandangan yang luar biasa, setelah segala upaya yang kami lakukan untuk bisa sampai ke tempat ini..
To be continued..