Kuda-kuda liar berlarian bebas menyusuri padang rumput luas yang berbukit-bukit. Sejauh mata memandang, yang tampak adalah bukit-bukit rumput yang menguning di musim kemarau. Di saat menjelang matahari terbenam, padang rumput yang berwarna kekuningan terkena sinar matahari sore sehingga bukit-bukit itu tampak berwarna keemasan dipandang dari kejauhan..
Sounds familiar..?
Saat kita membicarakan Sumba, salah satu yang selalu tergambar atau terbayangkan adalah padang rumput / sabana yang berbukit-bukit, tempat kuda-kuda Sandel yang terkenal itu berlarian bebas menjelajah perbukitan yang luas. Foto-foto yang banyak beredar di media sosial pun memajang gambar-gambar indah perbukitan dan padang-padang rumput tersebut di saat matahari terbenam, tak lupa pula dengan si pemilik laman media sosial tersebut berpose di depannya, dan dilengkapi juga dengan deksripsi atau caption yang kadang-kadang nggak nyambung dengan fotonya.
Mungkin sebagian dari kita yang belum pernah mengunjungi Sumba tidak tahu bahwa gambaran di atas hanya mewakili sebagian pulau Sumba saja. Lebih tepatnya, bagian Timur dari Pulau Sumba. Sementara sebagian lagi dari Pulau Sumba yang berada di bagian Barat, kondisi alamnya sungguh bertolak-belakang dengan Sumba Timur. Keragaman vegetasinya pun jauh berbeda..
Sumba Timur banyak tergambar dengan perbukitan sabananya, yang mayoritas ditumbuhi oleh rumput dan semak atau perdu. Jika kita berkendara dari Waingapu mengarah ke Timur pulau, yang tampak di kiri-kanan jalan adalah perbukitan dengan padang rumput. Sesekali, kawanan kuda tampak berlarian atau merumput di bukit-bukit itu. Kita juga harus berhati-hati ketika berkendara, karena bisa saja kita bertemu kawanan kuda, sapi, atau kambing yang menyeberang jalan. Dengan kondisi alam yang tampak gersang seperti itu, kita mungkin berpikir bahwa masyarakat daerah ini berperangai keras. “Justru orang-orang di Timur sini sangat ramah, Adik bisa stop mobil di mana saja & ngobrol orang kampung, mampir ke rumah”, kata Pak Jon, seorang pemilik kuda yang sedang menggembalakan kuda-kudanya di padang rumput tempat kami berhenti sejenak untuk beristirahat. “Di Barat, mereka bukannya tidak ramah, tapi (karakter) mereka lebih keras saja..”
Berkendara dari Waingapu ke arah Selatan kemudian berbelok ke arah Barat, kita akan melalui area Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, memasuki Sumba Tengah. Bukit-bukit rumput masih tampak, tetapi hutan hujan yang tebal sudah mulai tampak. Dan tidak lama, jalanan yang kami lalui masuk ke tengah-tengah hutan lindung yang lebat, yang merupakan bagian dari taman nasional..
“Selamat Datang di Taman Nasional Matalawa”
Matalawa? Ya, nama dua taman nasional di Kabupaten Sumba Tengah/Barat dan Sumba Timur yang digabung: Taman Nasional Manupeu Tanah Daru di Sumba Tengah/Barat, dan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti di Sumba Timur. Matalawa menjadi nama baru taman nasional di Sumba semenjak kedua taman tersebut digabungkan secara kelembagaan & operasional pada tahun 2016. Matalawa pula yang tercantum di setiap papan penanda yang kami lewati di sepanjang jalan. Semakin jauh kami masuk ke arah Barat, semakin lebat hutan di kiri-kanan jalan..
“Yakin bener ini jalannya ke Lapopu..?”
“Menurut Gugel sih bener..”
Well, Google tampaknya hanya meng-cover bagian yang bisa dilalui kendaraan. Jalan desa, bahkan yang hanya berupa rumput & batu, tampaknya sudah tidak ada lanjutannya lagi. Yang ada di depan tinggal jalan setapak masuk ke hutan. Jadi kami berputar kembali dan berhenti di rumah terakhir yang kami temui untuk bertanya. Beruntung, rupanya itu rumah seorang jagawana taman nasional Matalawa. Pak Hani sang jagawana, rupanya sedang tidak bertugas dan menawarkan diri untuk mengantar kami..
“Ke Matayangu saja, lebih dekat..”
“Seberapa jauh Pak, ke Matayangu..?”
“Hanya lewat satu bukit itu saja, paling jauh 1 kilo..”
Pelajaran yang kami dapatkan: jangan mudah percaya orang setempat begitu saja. Jika berhubungan dengan jarak, kalikan tiga! 😀 Kami tidak curiga sama sekali ketika kami mulai memasuki hutan dengan Pak Hani menunjukkan jalan di depan. Semakin jauh kami masuk ke hutan, vegetasi semakin rapat. Satu bukit, dua bukit, tiga bukit, belum tampak tanda-tanda air terjun yang dituju. Keringat bercucuran. Wajah Andrew sudah memerah seperti kepiting rebus. Dalam hati saya menyesali keputusan untuk mengganti sepatu dengan sandal gunung. Setiap kali ditanya, Pak Hani hanya menjawab pendek sambil tertawa, “Sedikit lagi, itu suara air sudah kedengaran..”, dan saya mulai mempertanyakan pendengaran saya karena tidak mendengar suara air sedikit pun. Sampai pada akhirnya, jalan setapak yang kami lalui menurun dengan curam, kami harus berpegangan pada akar-akar tanaman untuk bisa bergerak turun dengan aman, dan suara gemuruh air mulai benar-benar terdengar di kejauhan..
Akhirnya, setelah naik-turun sekian bukit melalui jalan setapak di tengah hutan Sumba Barat sejauh 3 kilometer (thanks to GPS recording feature, kita jadi tahu jarak sebenarnya :D) akhirnya sampailah kami ke air terjun yang indah ini. Hiking menembus hutan di udara yang sangat lembab, tertusuk ranting & batu, lintah yang menempel di kaki, semuanya terasa sepadan. Bekal nasi Padang yang kami bawa terasa lebih nikmat setelah berjalan kaki selama 2 jam dan dengan pemandangan yang ada di depan kami..